GEMERLAP TAHUN 2008 BERSAMA ALUMNIHKX.BLOGSPOT.COM

Meng-Indonesiakan Islam

Pagi itu, seperti biasa saya masuk kuliah di sebuah perguruan tinggi islam yang bekerjasama dengan pemerintahan Arab Saudi yang terletak di Jakarta . Kampus itu memang lebih dikenal dengan kampus arab karena mayoritas para mahasiswanya memakai pakaian arab jubah atau baju koko panjang sampai lutut, dan para mahasiswinya memakai jilbab yang lebar bahkan ada juga yang menutup seluruh mukanya. Dan memang para pengajar di di universitas itu berasal dari timur tengah yang menggunakan bahasa arab sehari-harinya.

Tepat jam istirahat saya langsung bergegas menuju kantin yang ada di dalam kampus, di tengah perjalanan, langkah saya dihentikan oleh seorang yang mengenakan jubah putih, berjenggot, dan memakai peci. Kebetulan pada waktu itu saya hanya berpakaian kemeja pendek dan celana panjang juga sepatu. Ia berkata kepada saya dengan bahasa arab yang artinya “ wahai saudaraku, kamu adalah muslim dan seorang muslim layaknya berpakaian sebagaimana orang arab berpakaian “

Para pembaca sekalian, benarkah kita harus berpakaian seperti orang arab untuk menjadi seorang muslim yang baik? Mengapa kebudayaan islam selalu kita identikkan dengan kebudayaan arab? Bukankah kita sebagai bangsa Indonesia juga punya budaya yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budi pekerti yang luhur yang juga sesuai dengan nilai islam. Begitu banyak berbagai contoh islamisasi yang berbentuk arabisasi di Indonesia . Bank islam yang mengganti istilah perbankan dari bahasa inggris ke bahasa arab, Hotel yang disebut islami karena memasang kaligrafi arab di setiap ruangan, Pesta pernikahan yang memisahkan tamu pria dan tamu wanita, laskar jihad yang gentayangan dengan jubah putih dan sorban, keharusan berwajah brewok dan jenggot, perempuan yang menutup seluruh mukanya. Bukankah itu semua adalah budaya arab yang terjadi pada 15 abad yang lalu? Banyak orang islam yang tampaknya belum puas kalau belum mengikuti orang arab

Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk memandang bahwa islam adalah agama yang universal, melintasi ruang dan waktu. Islam adalah rahmatan lil’alamin, agama untuk semua golongan, suku, kabilah. Sebangaimana firman Allah dalam surat adz-dzariyah ayat 13 yang artinya “ sesungguhnya kami telah menciptakan kamu semua laki dan perempuan dari bermacam suku dan bangsa adalah untuk saling mengenal, dan orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa”

Kita sebagai warga Negara Indonesia harusnya bangga dengan nilai budaya yang kita miliki dari mulai adapt, pakaian, makanan khas, dan kesenian. Sejarah juga membuktikan bahwa para walil Allah terdahulu berdakwah menyebarkan islam dengan menggunakan wayang dan seni tradisional lainnya.

Marilah kita pertahankan nilai-nilai budaya yang kita miliki SELAMA nilai-nilai budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran agama islam. Jadilah orang Indonesia dan muslim yang taat kepada agama. Kesan bahwa islam itu agama orang arab harus dihilangkan karena dalam survey membuktikan bahwa lebih dari 85 persen umat islam itu bukan orang arab.


By. Mumu at-tibty

"Membangun Kesalehan Yang Utuh"

Membangun kesalehan diri kadang seperti berkendaraan di jalan yang sepi. Harus mampu mengukur situasi: apakah kendaraan melaju terlalu cepat, atau sangat lambat. Bahkan boleh jadi, keasyikan di suasana sepi bisa membuat pengendara tertidur.

Ada doa menarik yang pernah diucapkan Umar bin Khaththab r.a. Suatu kali, ia memohon pada Allah, “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari keganasan orang-orang durjana. Dan dari kelemahan orang-orang saleh.”

Kalimat terakhir dari doa Umar itu, mempunyai pelajaran tersendiri. Bahwa, kesalehan tidak selamanya utuh. Ia bisa terjebak pada keasyikan ego. Bisa terperosok dengan kelemahan diri yang terbungkus sebuah pandangan: dunia memang harus dijauhi.

Dari situlah, orang-orang saleh menjadi mutiara yang terbungkus. Yang cuma bernilai untuk dirinya sendiri. Tidak pernah muncul di masyarakatnya. Tidak mau tampil membenahi lingkungannya yang teranggap ‘kotor’.

Allah swt. pernah memberi pelajaran berharga kepada seorang hamba-Nya yang sangat saleh, Yunus bin Mata. Ketika Nabi Yunus pergi meninggalkan kaumnya yang ingkar, tanpa arahan dari Allah swt., ia mendapat teguran. Teguran itu dirasakan Yunus ketika ia berada dalam perut ikan paus. Ketika itu, ia merasakan tiga kegelapan: gelapnya malam, gelapnya dasar lautan, dan gelapnya dalam perut ikan.

Saat itulah, Yunus tersadar kalau ia telah meninggalkan tanggung jawab besar. Ia bertasbih dan beristighfar. Firman Allah swt., “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya. Maka, ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: tidak ada ilah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiya’:87)

Kalau saja bukan karena tasbihnya, Nabi Yunus tidak akan pernah keluar dari perut ikan. “Maka ia (Nabi Yunus) ditelan ikan besar dalam keadaan tercela. Maka sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah (musabbihin), niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (Ash-Shaaffaat:142-144)

Mungkin, hampir tidak ada orang-orang saleh saat ini yang pindah rumah karena lari dari tanggung jawab umat. Tapi, mereka mungkin saja pindah bukan dalam arti fisik. Tapi, lebih karena menyusutnya kepedulian. Mereka lebih betah berada di rumah dan masjid, daripada berbaur dengan lingkungan. Lebih senang menyibukkan diri dalam ‘pengasingan’ daripada melakukan perubahan.

Sayangnya, lemah diri karena tidak mampu menghadapi kenyataan lingkungan seperti menjadi prestasi. Dan setan terus menghibur, “Anda memang orang saleh. Tidak ada orang sesaleh Anda. Teruslah jaga kebersihan diri Anda. Jangan kotori dengan bergaul pada lingkungan yang kotor.”

Di tahun keseratus hijriyah, ada seorang ahli ibadah yang begitu wara dan zuhud. Beliau adalah Fudhail bin ‘Iyadh. Ia ingin menebus kekhilafannya di masa lalu dengan tinggal di Baitul Haram. “Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku dengan tinggal di Baitul Haram,” tekad Fudhail begitu kuat.

Sejak itu, Fudhail menyibukkan diri dengan ibadah di masjidil Haram. Ia kerap menangis menyesali dosa-dosa yang pernah terlakoni. Sedemikian seringnya menangis, hingga di kedua pipinya terbentuk celah bekas aliran air mata.

Ia pun menjaga keluarganya dari makanan yang subhat. Ia menolak semua hadiah dari bangsawan dan raja-raja yang kebetulan berkunjung ke Baitul Haram. Fudhail lebih sreg menghidupi keluarganya dengan mengurus air di Makkah.

Namun, ia tidak menyangka kalau semua itu belum apa-apa. Kesalehan yang selama ini ia jaga ternyata masih jauh dari yang semestinya. Itulah sebuah pelajaran yang didapat Fudhail setelah bertemu seorang ulama hadits besar, Abdullah Ibnu Mubarak.

Sebuah untaian kalimat ditulis Abdullah Ibnu Mubarak khusus buat sahabatnya tercinta, Fudhail bin ‘Iyadh:

Wahai ‘abid Al-Haramain,seandainya engkau memperhatikan kami,engkau pasti tahu bahwa selama iniengkau hanya main-main dalam beribadah.Kalau pipi-pipi kalian basah dengan air matamaka leher-leher kami basah bersimbah darah.Kalau kuda-kuda kalian letih dalam hal yang sia-sia,maka kuda-kuda kami letih di medan laga.Semerbak wanginya parfum, itu untuk kalian,sedangkan wewangian kami pasir dan debu-debu.Telah datang Al-Quran kepada kita menjelaskan,para syuhada tidak akan pernah mati, dan itu pasti.

Usai membaca surat itu, Fudhail meneteskan air matanya. Ia pun mengatakan, “Engkau benar, Ibnu Al-Mubarak. Demi Allah, engkau benar!”